Menu
Indonesia-15-scaled
Ringkasan Eksekutif

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi risiko perubahan iklim tercermin melalui serangkaian kebijakan baru yang diberlakukan beberapa tahun terakhir untuk mencapai target pengurangan emisi yang diumumkan di tahun 2009. Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020 (bila dibandingkan dengan tanpa perubahan kebijakan), atau sebesar 41 persen dengan dukungan internasional.

Kebijakan dan pendanaan publik berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut. Saat ini, para pelaku pendanaan publik (pemerintah dan mitra pembangunan internasional) mulai meningkatkan investasi, dan berbagai lembaga pemerintahan di Indonesia kini mulai menyusun kerangka insentif untuk mendorong pendanaan perubahan iklim dari pihak swasta, yang juga sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui siapa pelaku publik yang berinvestasi, mekanisme apa yang digunakan, kegiatan apa yang didanai, dan mengapa. Dengan mengidentifikasi dan memetakan apa yang sudah terjadi di Indonesia sejauh ini, kita memiliki landasan untuk mengukur kemajuan dan merencanakan peningkatan pendanaan perubahan iklim di masa yang akan datang. Melalui studi ini, kita juga dapat melihat pola investasi yang ada, yang kemudian memperlihatkan di mana saja hambatan dan peluang terbesar terletak.

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Indonesia dan Climate Policy Initiative (CPI) merupakan kali pertama dilakukan pemetaan pendanaan perubahan iklim di sebuah negara berkembang. Pemetaan ini tidak hanya memberikan gambaran besar mengenai aliran dana publik untuk perubahan iklim di Indonesia, tetapi juga memperlihatkan berbagai tantangan metodologi yang dihadapi dalam proses penelusuran dan pengumpulan informasi tersebut.

Pada tahun 2011, setidaknya sebesar Rp 8,4 triliun (USD 951 juta) dana untuk perubahan iklim berasal dari sumber-sumber pendanaan publik. Angka di tahun 2011 ini lebih rendah dari perkiraan Pemerintah Indonesia akan jumlah pendanaan tahunan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pengurangan emisi pada tahun 2020. Namun, aliran dana publik, baik dari sumber domestik maupun internasional, diperkirakan akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan seiring dengan diterapkannya kebijakan nasional seperti rencana aksi nasional mitigasi perubahan iklim (RAN-GRK) dan adaptasi perubahan iklim (RAN-API) secara menyeluruh.

Pendanaan Publik Dalam Negeri untuk Perubahan Iklim

Dana publik dalam negeri merupakan penyumbang terbesar dalam pendanaan iklim di Indonesia. Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia merupakan kontributor terbesar dengan mengucurkan dana sedikitnya Rp 5,5 triliun (USD 627 juta) atau 66 persen dari pendanaan publik untuk perubahan iklim melalui mekanisme belanja negara.

Sebagian besar pendanaan dalam negeri untuk perubahan iklim (hampir 75 persen) dialokasikan untuk “kegiatan pendukung” yang utama, seperti pengembangan kebijakan, kegiatan penelitian dan pengembangan, pembentukan sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi serta penyiapan lingkungan pendukung lainnya. Kegiatan-kegiatan ini berperan menyiapkan landasan untuk berbagai “kegiatan inti” di bidang mitigasi, sehingga diharapkan akan membantu mendorong peningkatan baik dari segi jumlah maupun efektifitas alokasi pendanaan di masa yang akan datang. Fokus pendanaan Pemerintah Indonesia pada kegiatan pendukung merupakan hal yang wajar mengingat perannya dalam mengembangkan dan melaksanakan berbagai kerangka kebijakan untuk menstimulasi investasi langsung. Pengeluaran yang besar untuk kegiatan pendukung wajar terjadi pada tahun tersebut, karena merupakan periode penyusunan kerangka kebijakan nasional, yakni RAN-GRK, yang baru diperkenalkan pada akhir tahun 2011. Namun, alokasi pendanaan untuk kegiatan pendukung diperkirakan dapat menurun dalam jangka menengah sejak pemberlakuan RAN-GRK.

Untuk kegiatan pendukung, sebagian besar dukungan pendanaan ditujukan ke sektor kehutanan (73 persen), sedangkan 10 persen ditujukan untuk pertanian dan 7 persen untuk sektor energi. Fokus ini sejalan dengan fakta bahwa tingginya persentase emisi Indonesia berasal dari sektor lahan.

Pendanaan untuk kegiatan inti mitigasi juga ditujukan untuk beberapa sektor yang memiliki emisi tinggi, antara lain sektor perhubungan (35 persen), limbah dan persampahan (26 persen), pertanian dan peternakan (27 persen), serta energi (10 persen).

Namun, sampai saat ini, jumlah pendanaan yang telah direalisasikan untuk kegiatan inti mitigasi di sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan masih terbatas. Sementara itu, pendanaan untuk kegiatan inti adaptasi direalisasikan terutama untuk pengelolaan risiko bencana.

Pada tahun 2011, belanja negara merupakan mekanisme utama yang digunakan untuk menyalurkan pendanaan yang bersumber dari APBN (Rp 6,0 triliun atau USD 678 juta). Jumlah ini termasuk dana internasional yang diterima oleh pemerintah pusat dan terserap oleh APBN. Aliran dana ini dikucurkan terutama untuk kementerian dan lembaga di tingkat pusat (97 persen), sementara proporsi pengeluaran untuk pemerintah daerah masih sangat kecil. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat hambatan yang mempengaruhi kelancaran arus pendanaan perubahan iklim domestik untuk pemerintah daerah. Hal ini penting diperhatikan, mengingat kenyataan bahwa sebagian besar tindakan untuk perubahan iklim perlu dilaksanakan di tingkat daerah. Perlu adanya tindakan cepat untuk memahami cara meningkatkan pendanaan untuk perubahan iklim yang tepat waktu, efisien dan efektif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Selain belanja negara, pemerintah pusat juga melakukan investasi, yang sebagian besar dilaksanakan melalui penyertaan modal pada badan usaha milik negara (tidak dihitung dalam studi ini) dan dana bergulir (Rp 1,3 triliun atau USD 144 juta) untuk mendukung proyek dan kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Namun, studi menunjukkan hanya Rp 30 miliar yang dipakai untuk mendanai upaya ini di tahun 2011. Kesenjangan antara penambahan dana ke dalam dana bergulir dan realisasi pencairan menunjukkan bahwa mekanisme tersebut belum berjalan sesuai dengan tujuannya. Perlu adanya tindak lanjut untuk memahami penyebabnya, dan perbaikan apa yang dibutuhkan untuk memperlancar aliran dana tersebut.

Pendanaan Publik Internasional untuk Perubahan Iklim

Mitra pembangunan internasional memberikan tambahan dana sebesar Rp 2,9 triliun (USD 324 juta) untuk aliran pendanaan publik perubahan iklim di Indonesia.

Sebagian besar (68 persen) dari pendanaan internasional ini dialokasikan untuk membiayai kegiatan inti mitigasi dan adaptasi yang terjadi di lapangan. Dilihat dari sisi penerima, sebagian besar pendanaan ini (55 persen) mengalir langsung ke badan-badan usaha milik negara dan swasta (sebagian besar dalam bentuk pinjaman).

Sisa pendanaan publik internasional untuk perubahan iklim sebesar 32 persen digunakan untuk mendanai kegiatan pendukung yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah (misalnya pengembangan kebijak n)
dan organisasi yang terlibat dalam peningkatan kapasitas dan pengetahuan, antara lain konsultan swasta, organisasi internasional dan organisasi nonpemerintah (ornop/LSM).

Jenis pendanaan internasional relatif seimbang antara hibah dan pinjaman. Pinjaman digunakan untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur yang memiliki manfaat mitigasi dan adaptasi (misalnya pembangkit listrik tenaga panas bumi dan proyek rehabilitasi drainase), sedangkan hibah diarahkan untuk kegiatan-kegiatan terkait penciptaan lingkungan pendukung dan peningkatan kesiapan lainnya. Hasil studi menunjukkan tingkat pencairan dana yang lebih rendah dibandingkan komitmen semula. Ini mencerminkan adanya tantangan bagi mitra pembangunan yang beroperasi di Indonesia dan bagi Pemerintah Indonesia untuk menyerap sumber pendanaan yang tersedia, baik dari segi jumlah maupun ketepatan waktu.

Keselarasan antara Pendanaan untuk Perubahan Iklim dan Prioritas Nasional

Secara keseluruhan, dari sisi kebijakan dan sektor prioritas, penggunaan pendanaan publik (domestik maupun internasional) tampak cukup selaras dengan perencanaan nasional.

Fokus sektoral kegiatan mitigasi pada tahun 2011 sudah cukup selaras dengan perencanaan nasional, antara lain seperti yang tertuang dalam RAN-GRK. Beberapa sektor yang berpotensi menimbulkan emisi terbesar mendapatkan porsi pendanaan perubahan iklim yang paling tinggi baik untuk kegiatan inti maupun pendukung, seperti misalnya sektor kehutanan (41 persen), energi (19 persen), pertanian dan peternakan (10 persen), perhubungan (9 persen), serta limbah dan persampahan (7 persen). Adanya preferensi pemanfaatan aliran pendanaan awal ini untuk mendanai kegiatan pendukung, seperti pengembangan kebijakan dan penciptaan lingkungan pendukung yang kondusif, mengindikasikan bahwa Indonesia sedang memposisikan dirinya untuk meningkatkan tindakan pada sektor-sektor terpenting.

Rekomendasi

Dengan mempertimbangkan temuan umum dari hasil studi tersebut, kami mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

Peluang untuk meningkatkan aliran pendanaan untuk perubahan iklim ke dalam proyek/kegiatan

Merancang mekanisme khusus yang menghubungkan strategi nasional dengan kebutuhan belanja daerah dapat memperlancar aliran pendanaan ke daerah-daerah di Indonesia. Pembiayaan Negara memiliki potensi untuk mendorong dan mempengaruhi efektivitas sistem secara menyeluruh di masa depan. Pemerintah pusat dan daerah dapat saling melengkapi – kebijakan dirumuskan pada tingkat pusat, sedangkan tindakan-tindakan dilaksanakan dan dipantau di tingkat daerah. Dalam hal ini, kesiapan di tingkat daerah merupakan isu penting. Sebagian besar kegiatan untuk perubahan iklim nantinya akan diterapkan di tingkat daerah. Namun terdapat tantangan dalam penyaluran dana ke daerah untuk mendukung kegiatan untuk perubahan iklim, antara lain karena belum ada instrumen atau mekanisme khusus untuk menyalurkan dana tersebut.

Kerangka pengelolaan pendanaan publik di Indonesia memberikan landasan untuk memastikan bahwa hibah dan pinjaman publik internasional mendukung prioritas utama negara. Pada tahun 2011, mitra pembangunan internasional mengarahkan sebagian besar belanja mereka pada sektorsektor prioritas, dan berusaha untuk menyelaraskan dukungan pendanaan dengan prioritas Indonesia. Namun, sebagian besar pendanaan internasional untuk perubahan iklim disalurkan melalui para pelaku non-pemerintah (68 persen) yang seringkali belum melaporkan pendanaan tersebut ke dalam sistem Kementerian Keuangan secara akurat. Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia sulit untuk mengawasi bagaimana dan kemana pembiayaan internasional tersebut diarahkan. Dengan melaporkan pendanaan internasional melalui kerangka tata kelola yang ada, Kementerian Keuangan dapat mengarahkan pendanaan internasional untuk mendukung sektor-sektor prioritas secara lebih efektif.

Merancang dana multilateral agar lebih terkait dengan prioritas perubahan iklim negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dan tujuan para penyandang dana secara lebih efektif. Hal ini dapat membantu meningkatkan aliran pendanaan multilateral. Analisis kami menunjukkan bahwa pada tahun 2011, pendanaan bilateral lebih mudah terealisasi di Indonesia dibandingkan pendanaan multilateral. Hal ini mungkin disebabkan oleh kepentingan para negara mitra bilateral yang lebih selaras dengan prioritas Indonesia. Upaya-upaya yang berlangsung untuk menyusun pengaturan tata kelola untuk Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund) atau pendanaan perubahan iklim internasional lainnya dapat menarik pembelajaran dari pendanaan bilateral agar pendanaan yang ada dapat mengalir dengan lebih baik.

Peluang untuk memperbaiki pengawasan pendanaan untuk perubahan iklim

Ada beberapa peluang untuk memperbaiki pengawasan dan pelaporan pendanaan di berbagai sektor dan tingkat kegiatan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperkuat sistem pelaporan saat ini. Berdasarkan pengalaman tim studi, langkah-langkah berikut dapat mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas dan standar pelaporan serta membantu menelusuri aliran pendanaan secara lebih komprehensif:

Pedoman dalam menentukan kegiatan apa yang terkait dengan perubahan iklim, terutama dalam bidang adaptasi. Tantangan ini memang bukan hal yang unik bagi Indonesia. Namun, perlu segera memperjelas definisi mengenai kegiatan apa yang terkait perubahan iklim dan bagaimana definisi tersebut dapat diterapkan di tingkat program ataupun kegiatan di Indonesia. Tanpa adanya pedoman semacam ini, penelitian kami menunjukkan bahwa pelaku utama tidak dapat memverifikasi sejumlah besar pendanaan yang berpotensi memiliki keterkaitan dengan perubahan iklim.

Sistem data yang terintegrasi untuk mengumpulkan informasi yang dapat diperbandingkan antara berbagai jenis pelaku pendanaan perubahan iklim. Sistem seperti ini akan sangat memudahkan perbandingan informasi dan juga memungkinkan Kementerian Keuangan untuk mengarahkan berbagai aliran pendanaan secara lebih efektif.

Pedoman penyusunan pelaporan yang terperinci, yang lebih mudah diakses untuk menjelaskan persyaratan pelaporan yang terkini, termasuk format pelaporan yang disederhanakan dan konsisten. Penyederhanaan dan pelatihan lebih lanjut mengenai persyaratan pelaporan untuk semua pelaku akan mempermudah pelaporan yang akurat. Pedoman yang disesuaikan untuk masing-masing pelaku akan sangat bermanfaat bagi mitra pembangunan internasional dan pemerintah daerah, di mana saat ini hal tersebut merupakan hambatan utama dalam penelusuran realisasi pendanaan untuk perubahan iklim serta analisa dampaknya.

Keterbatasan Metodologi

Memahami pentingnya temuan tim studi tentang aliran pendanaan publik di Indonesia, kami juga perlu menekankan adanya tiga keterbatasan penting:

Kami mengantisipasi bahwa pencanangan rencana aksi nasional untuk perubahan iklim pada akhir 2011 dan penerapan rencana aksi serupa di tingkat daerah akan menstimulasi peningkatan pendanaan untuk perubahan iklim di tahun-tahun mendatang. Studi ini difokuskan pada tahun 2011, karena tahun tersebut merupakan tahun terkini di mana data belanja publik tersedia dan relatif lengkap untuk semua pelaku, sehingga dengan demikian juga dapat memberikan landasan yang berguna untuk penelitian serupa di masa depan.

Ruang lingkup penelitian kami hanya mencakup pendanaan sektor publik untuk perubahan iklim dan dengan demikian belum memberikan gambaran lengkap mengenai aliran pendanaan untuk perubahan iklim di Indonesia. Laporan CPI yang bertajuk Pemetaan Global Pendanaan untuk Perubahan Iklim menegaskan bahwa pembiayaan swasta menyumbang porsi terbesar dari total aliran pendanaan untuk perubahan iklim pada tingkat global—keadaan yang mungkin juga berlaku di Indonesia. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pew Environment Center memperkirakan adanya investasi untuk aset energi bersih senilai lebih dari USD 1 miliar di Indonesia pada tahun 2011.

Meskipun penelitian ini menghasilkan kemajuan dalam pengkodean anggaran negara untuk kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim—dengan memperluas lingkup studi Kerangka Mitigasi Fiskal Kementerian Keuangan tahun 2012—kami tidak berhasil memverifikasi volume aliran pendanaan publik yang cukup besar yang mungkin sangat relevan bagi perubahan iklim. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya tantangan dalam mengklasifikasikan kegiatan pembangunan tertentu sebagai kegiatan yang memiliki manfaat untuk mengatasi perubahan iklim. Secara khusus, ketidakpastian mengenai kegiatan adaptasi sangat besar, dan mencerminkan isu global yang lebih besar dalam menelusuri apakah sebuah pendanaan ditujukan untuk adaptasi perubahan iklim ataukah pembangunan secara umum. Secara keseluruhan kami mengidentifikasi, namun tidak dapat memverifikasi, sekitar Rp 10 triliun (USD 1,1 miliar) yang mungkin berkontribusi terhadap peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim.

up

Halaman ini berisi tulisan dalam berbagai bahasa