Jakarta, 31 Oktober 2025 – Climate Policy Initiative (CPI) meluncurkan pembaruan Dasbor Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan Indonesia, yang mengungkap bahwa sektor ketenagalistrikan Indonesia menerima total investasi sebesar 38,02 miliar dolar AS atau rata-rata 7,6 miliar dolar AS per tahun selama periode 2019–2023. Angka ini masih kurang dari setengah kebutuhan investasi tahunan sebesar 19,4 miliar dolar AS untuk mencapai target iklim nasional pada tahun 2030. Data terbaru ini menyoroti peluang untuk mengarahkan pembiayaan secara lebih strategis menuju energi baru terbarukan (EBT) dan infrastruktur pendukung yang dapat mendorong transisi rendah karbon di Indonesia.
Dikembangkan melalui proses triangulasi data yang menggabungkan berbagai sumber data resmi, Dasbor ini menyajikan informasi yang kredibel, komprehensif, dan terkini mengenai lanskap investasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Analisisnya memetakan sumber pembiayaan, alokasi, penggunaan, serta membandingkan aliran investasi energi baru terbarukan (EBT) dan bahan bakar fosil, untuk membantu pemerintah, pelaku industri, dan sektor keuangan dalam mengambil kebijakan dan menangkap peluang investasi EBT yang tepat.
Temuan kunci analisis tren investasi ketenagalistrikan Indonesia pada 2019–2023:
- Rata-rata tahunan investasi EBT mencapai 1,79 miliar dolar AS, jauh di bawah kebutuhan investasi tahunan sebesar 9,1 miliar dolar AS untuk mencapai target Enhanced NDC Indonesia. Meskipun Indonesia baru saja meluncurkan Second NDC dengan estimasi total kebutuhan investasi mencapai 472,6 miliar dolar AS hingga tahun 2035, tidak ada alokasi sektoral yang secara khusus dilaporkan untuk EBT. Investasi EBT juga lebih rendah dibandingkan rata-rata tahunan investasi bahan bakar fosil yang tercatat, yaitu sebesar 2,55 miliar dolar AS.
- Investasi EBT terutama berasal dari sumber domestik (55%) dan terpusat pada pembangkit listrik EBT berbasis baseload (panas bumi dan tenaga air). Pembiayaan swasta untuk EBT mendominasi sebesar 60%, sementara sisanya berasal dari pembiayaan publik. Pembiayaan untuk EBT variabel (surya dan angin) mengalami tren peningkatan, dari 0,03 miliar dolar AS pada 2019 menjadi 0,68 miliar dolar AS pada 2023.
- Secara keseluruhan, swasta menjadi penggerak utama pembiayaan di sektor ketenagalistrikan, dengan kontribusi sebesar 73,72%. Sebagian besar (59,25%) pembiayaan tersebut dialokasikan untuk bahan bakar fosil. Sumber investasi swasta internasional yang menonjol dalam pembiayaan proyek bahan bakar fosil berasal dari Tiongkok (2,48 miliar dolar AS) dan Korea Selatan (1,52 miliar dolar AS).
- Diperkirakan sekitar 10,63 miliar dolar AS (lebih dari 50%) dari investasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara pada periode 2019–2023 tidak tercatat. Temuan ini menunjukkan kesenjangan data yang signifikan dan mengindikasikan bahwa nilai investasi batu bara yang sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar. Hal ini disebabkan banyak data terkait PLTU captive, yang beroperasi untuk memenuhi kebutuhan energi dari sektor industri, belum tercatat secara resmi.
- Melihat efisiensi portfolio energi PLN, biaya operasional pembangkit listrik berbahan bakar fosil per unit produksi cukup tinggi, antara lain diesel (Rp. 2.541 per kWh), gas (Rp. 1.450 per kWh), dan batu bara (Rp. 603 per kWh). Sedangkan, biaya operasional per unit produksi PLN untuk EBT relatif lebih rendah, antara lain panas bumi (Rp. 977 per kWh), air (Rp. 110 per kWh), dan tenaga surya (Rp.3.111 per kWh).
- Biaya operasional PLTU Batu Bara (Rp. 603 per kWh) dengan PLT Surya (Rp. 3.111 per kWh) yang tercatat pada pembukuan PLN tidak sama dengan biaya yang ditemui di pasar global (global benchmarking). Perbedaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor, antara lain kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan intensitas pemakaian PLTS terpasang:
- Simulasi biaya operasional per unit produksi PLTU batu bara tanpa kebijakan subsidi DMO menunjukkan biaya yang jauh lebih tinggi, yaitu sebesar Rp. 1.211 per kWh.
- PLN berpeluang menurunkan biaya operasional per unit produksi tenaga surya menjadi Rp. 731 per kWh dengan meningkatkan efisiensi dari faktor kapasitas atau keluaran energi aktual PLTS dari 4% saat ini hingga mencapai 16% sebagai nilai rata-rata di Asia Tenggara.
“Transisi energi Indonesia terus bergerak maju, namun keberhasilannya tidak hanya bergantung pada seberapa besar investasi yang dapat kita mobilisasi, tetapi juga pada ke mana dan bagaimana investasi tersebut mengalir,” ujar Tiza Mafira, Direktur CPI Indonesia. “Data menunjukkan adanya kemajuan, tetapi masih terdapat ketimpangan. Bahan bakar fosil masih mendapatkan porsi investasi terbesar, lebih dari dua kali lipat dibandingkan energi terbarukan. Dengan data yang transparan dan terperinci seperti yang tersedia di dasbor kami, para pembuat kebijakan dan investor dapat menargetkan investasi dengan lebih tepat untuk mempercepat transisi Indonesia menuju masa depan rendah karbon,” pungkas Tiza.
Temuan lengkap dasbor ini dapat diakses pada link berikut: https://www.climatepolicyinitiative.org/dataviz/indonesia-power-sector-finance-dashboard/
